Minggu, 28 November 2010

GUNUNG SALAK

Gunung Salak merupakan sebuah gunung berapi yang terdapat di pulau Jawa, Indonesia. Gunung ini mempunyai beberapa puncak, di antaranya Puncak Salak I dan Salak II. Letak astronomis puncak gunung ini ialah pada 6°43' LS dan 106°44' BT. Tinggi puncak Salak I 2.211 m dan Salak II 2.180 m dpl. Ada satu puncak lagi bernama Puncak Sumbul dengan ketinggian 1.926 m dpl.

Secara administratif, Gunung Salak termasuk dalam wilayah Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengelolaan kawasan hutannya semula berada di bawah Perum Perhutani KPH Bogor, namun sejak 2003 menjadi wilayah perluasan Taman Nasional Gunung Halimun, kini bernama Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Gunung Salak merupakan gunung api strato tipe A. Semenjak tahun 1600-an tercatat terjadi beberapa kali letusan, di antaranya rangkaian letusan antara 1668-1699, 1780, 1902-1903, dan 1935. Letusan terakhir terjadi pada tahun 1938, berupa erupsi freatik yang terjadi di Kawah Cikuluwung Putri.

Menurut Hartman (1938) Gunung Salak I merupakan bagian gunung yang paling tua. Disusul oleh Gunung Salak II dan kemudian muncul Gunung Sumbul. Sedangkan Kawah Ratu diperkirakan merupakan produk akhir dari Gunung Salak. Kawah Cikuluwung Putri dan Kawah Hirup masih merupakan bagian dari Kawah Ratu.

Gunung Salak dapat didaki dari beberapa jalur pendakian. Puncak yang paling sering didaki adalah puncak II dan I. Jalur yang paling ramai adalah melalui Curug Nangka, di sebelah utara gunung. Melalui jalur ini, orang akan sampai pada puncak Salak II.

Puncak Salak I biasanya didaki dari arah timur, yakni Cimelati dekat Cicurug. Salak I bisa juga dicapai dari Salak II, dan dengan banyak kesulitan, dari Sukamantri, Ciapus.

Jalur lain adalah ‘jalan belakang’ lewat Cidahu, Sukabumi, atau dari Kawah Ratu dekat Gunung Bunder.

Selain itu Gunung Salak lebih populer sebagai ajang tempat pendidikan bagi klub-klub pecinta alam, terutama sekali daerah punggungan Salak II. Ini dikarenakan medan hutannya yang rapat dan juga jarang pendaki yang mengunjungi gunung ini. Juga memiliki jalur yang cukup sulit bagi para pendaki pemula dikarenakan jalur yang dilewati jarang kita temukan cadangan air kecuali di Pos I jalur pendakian Kawah Ratu, beruntung di puncak Gunung ( 2211 Mdpl ) ditemukan kubangan mata air.Gunung Salak meskipun tergolong sebagai gunung yang rendah, akan tetapi memiliki keunikan tersendiri baik karakteristik hutannya maupun medannya.

Hutan-hutan di Gunung Salak terdiri dari hutan pegunungan bawah (submontane forest) dan hutan pegunungan atas (montane forest).

Bagian bawah kawasan hutan, semula merupakan hutan produksi yang ditanami Perum Perhutani. Beberapa jenis pohon yang ditanam di sini adalah tusam (Pinus merkusii) dan rasamala (Altingia excelsa). Kemudian, sebagaimana umumnya hutan pegunungan bawah di Jawa, terdapat pula jenis-jenis pohon puspa (Schima wallichii), saninten (Castanopsis sp.), pasang (Lithocarpus sp.) dan aneka jenis huru (suku Lauraceae).

Di hutan ini, pada beberapa lokasi, terutama di arah Cidahu, Sukabumi, ditemukan pula jenis tumbuhan langka yang bernama Rafflesia rochussenii yang menyebar terbatas sampai Gunung Gede dan Gunung Pangrango di dekatnya.

Pada daerah-daerah perbatasan dengan hutan, atau di dekat-dekat sungai, orang menanam jenis-jenis kaliandra merah (Calliandra calothyrsus), dadap cangkring (Erythrina variegata), kayu afrika (Maesopsis eminii), jeunjing (Paraserianthes falcataria) dan berbagai macam bambu.

Aneka margasatwa ditemukan di lereng Gunung Salak, mulai dari kodok dan katak, reptil, burung hingga mamalia.

Hasil penelitian D.M. Nasir (2003) dari Jurusan KSH Fakultas Kehutanan IPB, mendapatkan 11 jenis kodok dan katak di lingkungan S. Ciapus Leutik, Desa Tamansari, Kab. Bogor. Jenis-jenis itu ialah Bufo asper, B. melanostictus, Leptobrachium hasseltii, Fejervarya limnocharis, Huia masonii, Limnonectes kuhlii, L. macrodon, L. microdiscus, Rana chalconota, R. erythraea dan R. hosii. Hasil ini belum mencakup jenis-jenis katak pohon, dan jenis-jenis katak pegunungan lainnya yang masih mungkin dijumpai. Di Cidahu juga tercatat adanya jenis bangkong bertanduk (Megophrys montana) dan katak terbang (Rhacophorus reinwardtii).

Berbagai jenis reptil, terutama kadal dan ular, terdapat di gunung ini. Beberapa contohnya adalah bunglon Bronchocela jubata dan B. cristatella, kadal kebun Mabuya multifasciata dan biawak sungai Varanus salvator. Jenis-jenis ular di Gunung Salak belum banyak diketahui, namun beberapa di antaranya tercatat mulai dari ular tangkai (Calamaria sp.) yang kecil pemalu, ular siput (Pareas carinatus) hingga ular sanca kembang (Python reticulatus) sepanjang beberapa meter.

Gunung Salak telah dikenal lama sebelumnya sebagai daerah yang kaya burung, sebagaimana dicatat oleh Vorderman (1885). Hoogerwerf (1948) mendapatkan tidak kurang dari 232 jenis burung di gunung ini (total Jawa: 494 jenis, 368 jenis penetap). Beberapa jenis yang cukup penting dari gunung ini ialah elang jawa (Spizaetus bartelsi) dan beberapa jenis elang lain, ayam-hutan merah (Gallus gallus), Cuculus micropterus, Phaenicophaeus javanicus dan P. curvirostris, Sasia abnormis, Dicrurus remifer, Cissa thalassina, Crypsirina temia, burung kuda Garrulax rufifrons, Hypothymis azurea, Aethopyga eximia dan A. mystacalis, serta Lophozosterops javanica.

Sebagaimana halnya reptil dan kodok, catatan mengenai mamalia Gunung Salak pun tidak terlalu banyak. Akan tetapi di gunung ini jelas ditemukan beberapa jenis penting seperti macan tutul (Panthera pardus), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata) dan trenggiling (Manis javanica).

JALUR PENDAKIAN

Gunung Salak dapat didaki dari beberapa jalur pendakian. Puncak yang paling sering didaki adalah puncak II dan I. Jalur yang paling ramai adalah melalui Curug Nangka, di sebelah utara gunung. Melalui jalur ini, orang akan sampai pada puncak Salak II.

Puncak Salak I biasanya didaki dari arah timur, yakni Cimelati dekat Cicurug. Salak I bisa juga dicapai dari Salak II, dan dengan banyak kesulitan, dari Sukamantri, Ciapus.

Jalur lain adalah ‘jalan belakang’ lewat Cidahu, Sukabumi, atau dari Kawah Ratu dekat Gunung Bunder.

Selain itu Gunung Salak lebih populer sebagai ajang tempat pendidikan bagi klub-klub pecinta alam, terutama sekali daerah punggungan Salak II. Ini dikarenakan medan hutannya yang rapat dan juga jarang pendaki yang mengunjungi gunung ini. Juga memiliki jalur yang cukup sulit bagi para pendaki pemula dikarenakan jalur yang dilewati jarang kita temukan cadangan air kecuali di Pos I jalur pendakian Kawah Ratu, beruntung di puncak Gunung ( 2211 Mdpl ) ditemukan kubangan mata air.Gunung Salak meskipun tergolong sebagai gunung yang rendah, akan tetapi memiliki keunikan tersendiri baik karakteristik hutannya maupun medannya.

GUNUNG CIREMAI

Gunung Ciremai yang memiliki ketinggian 3.078 mdpl merupakan gunung api aktif bertipe Strato, berada di tiga kabupaten, yakni Cirebon, Kuningan dan Majalengka. Gunung ini pun merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ceremai (TNGC) seluas 15.000 hektare.

Gunung Ceremai termasuk gunungapi Kuarter aktif, tipe A (yakni, gunungapi magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600), dan berbentuk strato. Gunung ini merupakan gunungapi soliter, yang dipisahkan oleh Zona Sesar Cilacap – Kuningan dari kelompok gunungapi Jawa Barat bagian timur (yakni deretan Gunung Galunggung, Gunung Guntur, Gunung Papandayan, Gunung Patuha hingga Gunung Tangkuban Perahu) yang terletak pada Zona Bandung.


Ceremai merupakan gunungapi generasi ketiga. Generasi pertama ialah suatu gunungapi Plistosen yang terletak di sebelah G. Ceremai, sebagai lanjutan vulkanisma Plio-Plistosen di atas batuan Tersier. Vulkanisma generasi kedua adalah Gunung Gegerhalang, yang sebelum runtuh membentuk Kaldera Gegerhalang. Dan vulkanisma generasi ketiga pada kala Holosen berupa G. Ceremai yang tumbuh di sisi utara Kaldera Gegerhalang, yang diperkirakan terjadi pada sekitar 7.000 tahun yang lalu (Situmorang 1991).

Letusan G. Ceremai tercatat sejak 1698 dan terakhir kali terjadi tahun 1937 dengan selang waktu istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Tiga letusan 1772, 1775 dan 1805 terjadi di kawah pusat tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Letusan uap belerang serta tembusan fumarola baru di dinding kawah pusat terjadi tahun 1917 dan 1924. Pada 24 Juni 1937 – 7 Januari 1938 terjadi letusan freatik di kawah pusat dan celah radial. Sebaran abu mencapai daerah seluas 52,500 km bujursangkar (Kusumadinata, 1971). Pada tahun 1947, 1955 dan 1973 terjadi gempa tektonik yang melanda daerah baratdaya G. Ciremai, yang diduga berkaitan dengan struktur sesar berarah tenggara – barat laut. Kejadian gempa yang merusak sejumlah bangunan di daerah Maja dan Talaga sebelah barat G. Ceremai terjadi tahun 1990 dan tahun 2001. Getarannya terasa hingga Desa Cilimus di timur G. Ceremai.

Gunung Ciremai memiliki dua kawah utama, Kawah barat dan Kawah Timur, serta kawah letusan kecil, Gua Walet. Secara geografis puncaknya terletak pada 6°53'30"LS dan 108°24'00"BT. Letusan terakhirnya tercatat pada tahun 1973. Gunung Ciremai dapat didaki dari arah timur melalui Linggarjati (580 m.dpl), dari arah selatan melalui Palutungan (1.227 m.dpl) dan dari arah barat melalui Maja (lewat Apui dan lewat Argalingga).

Nama gunung ini berasal dari kata cereme (Phyllanthus acidus, sejenis tumbuhan perdu berbuah kecil dengan rada masam), namun seringkali disebut Ciremai, suatu gejala hiperkorek akibat banyaknya nama tempat di wilayah Pasundan yang menggunakan awalan 'ci-' untuk penamaan tempat.

Jalur Linggarjati dan jalur Palutungan adalah jalur yang paling banyak dilalui, merupakan jalur yang dianjurkan pengelola kawasan di sekitar Gunung Ciremai. Tentu saja karena jalurnya yang landai dan relatif jelas.

Dari ketiga jalur tersebut, pilihan menuju puncak hendaknya di dasarkan pada kebutuhan dan kemampuan personil. “jika ingin cepat kita bisa memilih jalur apuy yang terjal atau jika ingin santai, kita bisa memilih jalur Linggarjati atau palutungan”.

JALUR LINGGARJATI

Desa Linggarjati merupakan salah satu jalur pendakian ke Gunung Ciremai. Dari Cirebon atau Jakarta, kita naik bus jurusan Kuningan dan turun di Terminal Cilimus atau di pertigaan menuju pusat Desa Linggarjati. Perjalanan ke Desa Linggarjati diteruskan dengan minibus. Di daerah Linggarjati terdapat Kantor Balai TNGC, yang merupakan akses utama menuju kawasan.

“di banding jalur Palutungan, jalur Linggarjati lebih curam dan sulit, dengan kemiringan sampai 70 derajat. Di jalur ini air hanya terdapat di Cibunar”,

Persediaan air pergi-pulang hendaknya dipersiapkan di Cibunar –salah satu pos-- , karena setelah ini tidak ada mata air lagi. Dari Cibunar, kita mulai mendaki melewati perladangan dan hutan Pinus, untuk tiba di Leuweung Datar (1.285 mdpl), Condang Amis (1.350 mdpl), Blok Kuburan Kuda (1.580 mdpl), Pengalap (1.790 mdpl) dan Tanjakan Binbin (1.920 mdpl). Lalu Tanjakan Seruni (2.080 mdpl), dan Bapa Tere (2.200 mdpl), untuk selanjutnya tiba di Batu Lingga (2.400mdpl), dimana terdapat sebuah batu cukup besar ditengah jalur.


Dari Batu Lingga kita akan melewati Sangga Buana Bawah (2.545 mdpl) dan Sangga Buana Atas (2.665 mdpl), selanjutnya kita akan sampai di Pengasinan (2.860 mdpl). Di sekitar Pengasinan akan dijumpai Edelweis Jawa (Bunga Salju) yang keberadaannya semakin langka.

“Pendakian dari jalur Linggarjati membutuhkan waktu 8-11 jam dan 5-6 jam untuk turun, karenanya kita harus mendirikan tenda di perjalanan. Untuk itu perlengkapan tidur (sleeping bag, tenda dsb), dan perlengkapan masak menjadi sebuah keharusan”.

JALUR PALUTUNGAN

Sedangkan Jalur Palutungan tidak securam Linggarjati, tetapi perlu tambahan waktu 2-3 jam. Kesana bisa dicapai dari Terminal Kuningan langsung menuju Desa Palutungan. Dari Palutungan pendakian diteruskan ke Cigowong Girang (1.450 mdpl), berlanjut ke Blok Kuta (1.690 mdpl) dan Blok Pangguyungan Badak (1.790 mdpl).

Jika dirasa fit, perjalanan dilanjutkan melewati Blok Arban (2.030 mdpl), Tanjakan Assoy (2.108 mdpl). Blok Pesanggrahan (2.450 mdpl), Blok Sanghyang Ropoh (2.590 mdpl), berujung pada pertigaan (2.700 m.dpl) yang menuju ke Apui dan ke Kawah Gua Walet. Dari pertigaan kita menuju Kawah Gua Walet (2.925 m.dpl) untuk mengambil air dan berlanjut ke puncak Ciremai, yang letaknya tidak begitu jauh.

JALUR APUY

Rute ketiga; jalur Apuy merupakan jalur paling menantang. Untuk mencapainya, bisa dilakukan dari kota Cirebon dengan naik bus menuju Majalengka, berlanjut dengan naik minibus ke Desa Maja (556 m dpl), lalu ke Desa Cipanas tempat kampung Apuy (1.100mdpl) berada.

Awal pendakian dimulai dari perladangan dan hutan produksi untuk sampai di Berod selama 3-4 jam perjalanan. Perjalanan diteruskan menuju ke Simpang Lima(Perempatan Alur), lalu Tegal Mersawah yang mengarah ke Pangguyangan Badak.

Selanjutnya perjalanan diteruskan ke Tegal Jumuju (2.520 m dpl) yang jaraknya tak begitu jauh dari Sanghyang Rangkah, lokasi yang merupakan tempat pemujaan. Dari sini perjalanan kita teruskan menuju ke Gua Walet (2.925 m dpl).
“Gua walet merupakan bekas letusan berbentuk terowongan. Disini kita biasa mendirikan tenda karna tersedia air bersih. Esok harinya kita bisa menuju ke Tepi Kawah (3.056 m dpl) dan Langsung ke puncak”.

Jumat, 26 November 2010

Gunung Sumbing

Gunung Sumbing merupakan sebuah gunung yang terdapat di pulau Jawa, Indonesia.

Gunung Sumbing mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung. Sebagian besar wilayah di gunung ini telah digunakan untuk lahan pertanian. Di puncaknya gunung ini mempunyai kawah yang masih aktif.

Gunung Sumbing adalah gunung tertinggi ke dua di Jawa Tengah dengan ketinggian mencapai 3.371 meter di atas permukaan laut. Gunung ini berhadapan dengan Gn.Sundoro yang dikenal sebagai gunung kembar. Jalan menuju ke puncak pun terjal dan penuh liku. Sebuah petualangan yang sangat menarik dan menakjubkan. Gunung Sumbing dapat didaki melalui dua rute yakni dari Base Camp Garung yang berada di desa Garung, kecamatan Kalikajar, kabupaten Wonosobo. Atau dari Base Camp Cepit, yang berada di desa Pagergunung, kecamatan Bulu, kabupaten Temanggung.

Seperti halnya gunung-gunung di Jawa lainnya, setiap tanggal 1 Suro (tahun baru Jawa) dan tanggal 21 Poso (bulan Jawa), sudah menjadi tradisi masyarakat setempat untuk melakukan jiarah ke puncak Gn. Sumbing. Di mana terdapat makan Ki Ageng Makukuh. Menurut kepercayaan penduduk setempat agar selamat dan terhindar dari mara bahaya, anak-anak dibiarkan berambut Gimbal. Masyarakat lereng Gn. Sumbing sangat menyukai kesenian tradisional seperti Kethoprak, Kuda Lumping atau Jathilan, kesenian ini sering dipentaskan di setiap desa.

Pendaki harus benar-benar menghormati kebiasaan penduduk lereng gunung Sumbing, banyak pantangan yang harus diperhatikan diantaranya tidak merusak tanaman, tidak mengganggu kebun penduduk, tidak membuang sampah, berhati-hati jika menyalakan api karena rawan kebakaran, berlaku sopan, tidak sombong, ramah bila berjumpa penduduk, tidak mengeluh, dan tidak buang air di sembarang tempat.

Sebaiknya pendaki tidak meletakkan barang-barang diluar tenda karena gunung Sumbing masih agak rawan. untuk itu sikap ramah, sopan dan penuh waspada para pendaki sangat diperlukan.

RUTE GARUNG

Sebenarnya jalur yang Anda tempuh untuk mencapai ke gunung ini sama dengan perjalanan menuju Gunung Sundoro. Dari Purwokerto naik bus besar jurusan Semarang, melewati Wonosobo, begitu juga sebaliknya. Kalau ke Gunung Sundoro Anda turun di desa Kledung, maka untuk mencapai Gunung Sumbing Anda harus turun di depan gapura desa Garung. Desa ini terletak di jalan menurun arah Wonosobo.

Berjalanlah sekitar 500 meter atau dapat juga naik ojek menuju ke Base Camp. Tidak lama, paling 15 menit berjalanan kaki. Di desa Garung/Butuh ini tidak ada losmen untuk bermalam. Namun, Anda bisa bermalam di rumah kepala desa, sekaligus mendapatkan informasi mengenai Gunung Sumbing.

Alamat lengkap Base Camp Garung: STICK PALA ( Satuan Induk Bocah Bocah Karang Taruna Pecinta Alam ). Desa Butuh, Dusun Garung, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.

Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak sekitar 8 jam dengan menempuh jarak 7 km. Mulai dari Base Camp Anda sudah menemui lajur yang menanjak. Setelah tanjakan pertama Anda akan melewati kebun sayur, tetapi jalannya tetap menanjak.

Jalur lama udah jarang dipake karena terlalu terjal buat pendakian dan relatif kurang aman. KM IV dimulai dari Bosweisen (batas ladang dan hutan) Kondisi jalan tanah liat dan tanah merah berpasir, di kanan kiri jalur rerumputan dan pepohonan kecil. Perjalanan akan semakin menanjak melewati dua buah bukit yakni bukit Genus dan Sedlupak. Jalan berupa tanah merah berpasir. Kalau lagi beruntung, saat kita masuk hutan, kita bisa ketemu ama setan belanda yg konon badannya tinggi dan bentuknya sangat seram.

Jalur Baru Setelah melewati ladang pertanian sampailah di perbatasan hutan di kawasan Bosweisen (batas ladang dan hutan) yang merupakan batas KM III. Kondisi jalan berupa tanah liat dan tanah merah berpasir. Di sepanjang kawasan ini terdapat beberapa jenis burung dan ayam hutan.

Kemudian melewati hutan pinus, kalau beruntung, apabila naik malam hari kita bakalan ditemenin ama orang yang seusia dan berjenis kelamin sama dengan pakean putih. Kita bakal ditemenin kalau terpisah dari kelompok dan bakal ditemenin sampai gabung lagi sama kelompok. Tapi sayangnya, saat kita ajak ngobrol, dia tidak akan menjawab dan selalu diam.

Setelah menyeberangi sungai di Kedung terdapat Pos peristirahatan Pos I. Perjalanan selanjutnya kita akan sampai di Pos II (Gatakan) pada ketinggian 2.240 mdpl. Di pos ini pendaki dapat mendirikan tenda, dibandingkan tempat lain, tempat ini cukup terlindung dari hempasan angin kencang, disamping itu pendaki dapat mengambil air bersih dari sungai yang tidak terlalu jauh. Tempat ini terkenal keangkerannya, pendaki yang berkemah disini sering mendapat gangguan Sundel Bolong.

Di Pestan (Peken Setan/Pasar Setan) pada ketinggian 2.437 mdpl, terdapat tempat terbuka yang cukup luas, pendaki dapat mendirikan tenda untuk beristirahat. Konon pendaki akan mencium bau semerbak bunga, bila bau bunga ini mengikuti dia, maka ada sosok mahkluk halus yang membuntutinya. Di sini jalur lama dan jalur baru bertemu.

Kawasan ini tidak ada pohonnya berupa padang rumput dengan sedikit pohon kecil, sehingga angin kencang sering menerpa tenda. Selain itu pendaki harus waspada karena sering ada badai yang cukup besar dan berbahaya. Kondisi jalan berupa tanah merah berpasir.

Selanjutnya kita sampai di Pasar Watu dimana banyak terdapat batu berserakan. Di depannya dinding batu berdiri. Jalur disini kelihatannya rawan soalnya bener-bener terbuka dengan kanan dan kiri jurang. Pendaki harus mengambil jalan kekiri sedikit menurun mengelilingi dinding batu terjal. Jangan mengambil jalan lurus dengan cara memanjat dinding terjal ini karena jalur ini buntu.

Dengan cara menelusuri sisi-sisi batuan terjal, Kemudian kita akan tiba di Watu Kotak (2.763mdpl) sebuah batu yang besar seperti kotak yang memiliki ceruk, dapat digunakan untuk berlindung dari tiupan angin dan hujan. Di tempat ini ada sedikit ruang untuk mendirikan tenda kecil. Di sini pendaki dilarang buang air di sembarang tempat, karena tempat ini adalah salah satu tempat yang keramat.

Selanjutnya kita akan melewati Tanah Putih, yang berupa batuan kapur. Jalur sangat berat, terjal dan berbatu-batu, sebaiknya berhati-hati karena batu-batu mudah jatuh menggelinding ke bawah baru kemudian sampai di puncak. Untuk menuju kawah ambil arah sebelah kanan sedangkan untuk menuju puncak lurus ke atas. Di puncak gunung terdapat musang gunung yang hidup di lubang-lubang batu di dinding kawah. Musang ini dengan berani mendekati pendaki untuk mencari sisa-sisa makanan.

RUTE CEPIT

Dari Yogya naik bus ke Magelang, disambung ke Temanggung, turun di Parakan. Perjalanan di mulai di Base Camp Cepit yang terletak di desa Pager Gunung, kec. Bulu, wilayah Temanggung, Jawa Tengah. Perjalanan terbaik dilakukan pada malam hari sekitar pukul 21.00, sampai di puncak menjelang pagi, sehingga sempat melihat Sunrise dari puncak gunung. Selain itu perjalanan di malam hari dapat menghemat air minum, karena di sepanjang jalur tidak terdapat mata air.

Pertama kali kita akan berjalan selama kurang lebih satu jam melewati kebun sayur penduduk. Kemudian kita akan mendaki sekitar dua jam memasuki kawasan hutan, selanjutnya kita akan sampai di padang rumput. Setelah itu kita akan bertemu dengan Batu Kasur dan Batu Lawang.

Jalur menuju puncak sangat sempit dan menanjak, sehingga sangat melelahkan, kita perlu sangat berhati-hati dan menjaga stamina tubuh. Puncak Gungung Sumbing berbentuk kaldera kecil yang bergaris tengah 800 meter, dengan kedalaman 50-100 m dan beberapa puncak yang runcing. Untuk menuju puncak tertinggi harus turun lagi ke arah kanan dan kemudian naik lagi.

Terdapat lautan pasir, terdapat juga makam leluhur masyarakat setempat yang dikenal dengan sebutan Ki Ageng Makukuhan. Ada beberapa gua salah satunya dikenal dengan nama Gua Jugil yang merupakan gua terbesar. Di kaldera banyak kawah kecil yang berasap belerang. Pemandangannya sangat indah sehingga kita akan merasa enggan untuk meninggalkan puncak tersebut.



Bus dari Porwokerto ke Semarang atau sebaliknya, turun di Gapura Desa Garung. Sekitar 500 meter sesudah gapura batas kabupaten Wonosobo - Temanggung.

tempat wisata yang bisa dikunjungi
* Dataran tinggi Dieng
* Candi Dieng
* Telaga Warna
* Pestan
* Watu Kotak
* Kawah makan Ki Ageng Makukuh

Masyarakat setempat melakukan jiarah ke kawah Gunung Sumbing dimana terdapat makan Ki Ageng Makukuh. Menurut kepercayaan penduduk setempat agar selamat dan terhindar dari mara bahaya, anak-anak dibiarkan berambut Gimbal.

Di hutan pinus, kalau beruntung, apabila naek malam hari kita bakalan ditemenin ama orang yang seusia dan berjenis kelamin sama dengan pakean putih. Kita bakal ditemenin kalau terpisah dari kelompok dan bakal ditemenin sampai gabung lagi sama kelompok. Tapi sayangnya, saat kita ajak ngobrol, dia tidak akan menjawab dan selalu diam. Kalau lagi beruntung, saat kita masuk hutan, kita bisa ketemu ama setan belanda yg konon badannya tinggi dan bentuknya sangat seram.

di Gatakan ( PosII ) tempat ini terkenal keangkerannya, pendaki yang berkemah disini sering mendapat gangguan Sundel Bolong.

Di Pestan seringkali pendaki akan mencium bau semerbak bunga, bila bau bunga ini mengikuti dia, maka ada sosok mahkluk halus yang membuntutinya.

Selasa, 23 November 2010

Gunung Sindoro

Gunung Sindoro 3153 Mdpl , Kledung Wononsobo Jawa Tengah

Gunung Sindoro memiliki ketinggian 3.153 mdpl (meter dari permukaan laut) gunung ini sering menjadi tujuan utama para Pecinta Alam, terutama untuk melakukan ekspedisi Triple S (Slamet, Sumbing, Sindoro). Medan yang terjal, panasnya sengatan matahari serta tidak adanya sumber air menjadi tantangan utama dalam pendakian. Seringkali pendaki tidak bisa melanjutkan pendakian karena kehabisan air minum. Sebaiknya Pendikian Gunung ini di lakukan pada musim penghujan, seperti bulan November, Desember dan Januari

Suasana Dari Puncak Bayangan Gunung Sindoro

Tempat pendaftaran di basecamp Kledung yang juga menjadi markas Tim SAR benama GRASINDO ini menyediakan tempat untuk menginap, , kamar mandi, menjual kaos, stiker, gantungan kunci, makanan dan minuman. Pendaki dapat memesan makanan bungkus sebagai bekal di perjalanan, karena memasak dan berkemah di gunung akan memerlukan persediaan air yang banyak.

Pendakian ke gunung Sindoro sebaiknya dilakukan pada malam hari karena untuk menghindarai panas dan debu, serta untuk menghemat air minum. Perjalanan diawali dari basecamp melewati perkampungan penduduk. Selanjutnya menapaki jalan berbatu sejauh sekitar 2 km melintasi kebun penduduk yang didominasi oleh tanaman jagung. Track awal landai kemudian sedikit menanjak ketika memasuki kawasan hutan pinus menjelang Pos 1 Sibajing, dengan ketinggian 1.900 mdpl.

Dari Pos 1 ini kita berbelok ke kanan , jangan mengambil jalan lurus karena buntu. Kita harus mendaki dan menuruni 2 buah punggungan gunung. Jalur bergeser ke punggungan yang lain melintasi tiga buah jembatan kayu. Pohon lamtoro dan pinus yang cukup lebat di sepanjang jalur cukup membuat suasana menjadi sejuk. Pos II berada pada ketinggian 2.120 mdpl.

Menuju Pos III medan mulai terjal dan berbatu, terdapat sebuah batu yang sangat besar di tengah jalan setapak. Pendaki dapat beristirahat di atas batu sambil menikmati pemandangan alam. Jalan tanah berdebu bercampur kerikil seringkali menyulitkan pendakian. Medan mulai terbuka kembali sehingga di siang hari akan terasa panas. Gunung sumbing sudah mulai kelihatan, sangat tingi dan besar sehingga bisa menjadi hiburan selama pendakian yang melelahkan.

Pos III Seroto berada pada ketinggian 2.530 mdpl, lokasinya terbuka dan cukup luas untuk mendirikan belasan tenda. Dari sini kita akan menyaksikan pemandangan yang sangat indah ke arah gunung Sumbing. Pemandangan lereng terjal gunung Sindoro serta puncak bayangan yang nampak di depan mata sangat indah untuk dinikmati.

Dari Pos III pendakian dilanjutkan dengan melintasi jalan berbatu yang terjal disertai dengan kerikil dan debu. Meskipun medan sangat berat kawasan ini agak rindang karena banyak ditumbuhi oleh pohon lamtoro dan tanaman perdu. Jalur kembali terbuka melintasi medan yang banyak terdapat batu-batu besar. Setelah mencapai puncak bayangan pertama, pendaki harus menghadapi puncak bayangan berikutnya yang kelihatan sangat tinggi dan curam.

Menuju puncak bayangan ke dua yang terjal dengan medan yang berbatu sungguh sangat melelahkan, terutama bila dilakukan pendakian pada siang hari akan terasa sangat panas dan kita akan sering kehausan. Beruntung medan yang kita lewati ditumbuhi oleh pohon lamtoro dalam jarak yang agak dekat sehingga bisa digunakan untuk berteduh. Lintasan berikutnya melewati medan berbatu dengan tanaman edelweis. Sesampainya di puncak bayangan kedua setelah melewati hutan edelweis, medan kembali terbuka dan harus melintasi batu-batu besar. Puncak gunung yang sesunguhnya masih belum nampak karena tertutup pandangan oleh pohon-pohon edelweis.

Jalur akhir menuju puncak ini medannya sangat berat, selain terjal dan terbuka, panas matahari sangat terasa menyengat, kelelahan dan kehausan menyertai para pendaki. Batu-batu besar menjadi pijakan di sepanjang lintasan. Di siang hari pasir dan batu terasa sangat panas bila disentuh, terutama batu yang berwarna hitam bila dipegang terasa sangat panas sekali. Tidak mengherankan jika di gunung Sindoro ini sering terjadi kebakaran. Menjelang puncak pohon edelweis banyak tumbuh sehingga bisa menjadi tempat berlindung dari teriknya matahari.

Puncak gunung Sindoro tidak terlalu luas tetapi melingkar mengelilingi kawah. Banyak terdapat batu-batu besar dan ditumbuhi tanaman edelweis. Dari puncak gunung Sindoro pemandangan ke arah selatan terlihat gunung Sumbing sangat indah sekali. Sedikit ke arah timur nampak gunung Merbabu dan gunung Merapi yang diselimuti awan.

Kawah gunung Sindoro cukup luas, pendaki dapat turun ke dasar kawah. Di musim penghujan kawah ini akan terisi oleh air membentuk danau kawah, sehingga pendaki dapat mandi serta mengambil air bersih dari danau kawah. Di musim kemarau kawah gunung Sindoro masih menyisakan genangan-genangan air yang bercampur dengan belerang sehingga terasa asam bila diminum.


Gunung Slamet

Gunung Slamet adalah gunung yang berada di kabupaten Purbalingga, Brebes dan Banjarnegara. Tepatnya di sebelah Barat kota Purbalingga dan sebelah Utara kota Purwokerto pada ketinggian Gunung ini mencapai 3432 m dpl dan termasuk gunung berapi tertinggi di Jawa dengan memiliki 4 buah kawah aktif yang terletak di puncaknya, sehingga dianjurkan untuk mendaki puncak sebelum pukul 10 pagi untuk menghindari adanya gas beracun. Dari puncak dapat terlihat gunung-gunung lainnya di jawa tengah seperti gunung Sumbing, Sindoro, merbabu, merapi bahkan kalau sedang cerah bisa melihat gunung Lawu.

Pada bulan-bulan tertentu cuaca di gunung ini sangat ekstrim dan seringkali terjadi badai pada puncaknya, suhu udara turun dengan drastis untuk mengantisipasinya jangan lupa membawa baju hangat, jas hujan dan kantung tidur agar tidak terkena hipotermia jika ingin mendaki gunung ini. Sebagian jalur pendakian amat curam dan pada musim hujan, jalur pendakian menjadi semakin berat karena jalur tersebut terisi oleh air.

Sebagian masyarakat jawa mempercayai bahwa gunung slamet adalah pusat dari pulau Jawa. Mereka juga menyebut gunung ini dengan nama gunung Lanang. Bahkan mereka juga percaya bahwa gunung ini adalah gunung yang angker, yang banyak didiami oleh mahluk halus. Terlepas dari mitos dan kepercayaan yang ada, gunung ini merupakan gunung yang indah, terutama di Pelawangan yaitu daerah sebelum puncak.

Ada beberapa pintu masuk untuk mendaki gunung ini yaitu melalui Bambangan, Batu Raden, Kaliwadas dan Randudongka. Tapi jalur resminya adalah melalui Bambangan, jalur-jalur lainnya sudah ditutup untuk keselamatan. Pemandangan yang di temui melalui pintu masuk Bambangan cukup beragam, dari pintu masuk perkebunan mendominasi rute perjalanan, lalu berganti dengan hutan hujan tropis, mendekati puncak berganti dengan semak semak, dan puncaknya berupa batu-batuan dan pasir. Jalur yang ditempuh cukup sulit dengan rata-rata kemiringan lebih dari 400.

Dalam buku yang berjudul "Three Old Sundanese Poems", terbitan KITLV Leiden tahun 2006, J. Noorduyn menyebutkan bahwa nama "Slamet" adalah relatif baru yaitu setelah masuknya Islam ke Jawa. Dengan merujuk kepada naskah kuno Sunda Bujangga Manik, Noorduyn menuliskan bahwa nama lama dari gunung ini adalah Gunung Agung.

Aktivitas terakhir adalah pada bulan Mei 2009 dan sampai Juni masih terus mengeluarkan lava pijar.

Gunung Slamet di pandang dari kacamata geologi merupakan gunung stratovulcano yang terbentuk akibat pengaruh pergerakan tektonik lempeng antara lempeng indoaustralia dan lempeng eurasia. tumbukan antar lempeng mennyebabkan magma yang terbentuk lebih bersifat intermediet (SiO2 50-60 %)

Jalur Pendakian

Jalur Bambangan:
Bambangan merupakan sebuah desa yang terletak di lereng gunung slamet.
Dari desa ini menuju pos pertama melalui perkebunan sayur yang masih dapat ditempuh dengan motor sampai pos pesanggrahan perum perhutani Serang, setalah itu perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki. Biasanya pendaki memulai perjalanan pada sore untuk menghindari panasnya sengatan matahari ketika berjalan diperkebunan yang terbuka.
Jalur pendakian standar adalah dari Bambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga. Jalur populer lain adalah dari Baturraden.

Pendakian Gunung Slamet dikenal cukup sulit karena hampir di sepanjang rute pendakian tidak ditemukan air, walaupun ada itu juga merupakan genangan air. Kepada pendaki sangat disarankan untuk membawa persediaan air yang cukup dari bawah. Faktor lain adalah kabut. Kabut di Gunung Slamet sangat mudah berubah-ubah dan pekat.

Tetapi Jika anda melewati jalur bambangan, mungkin masalah air tidak terlalu sulit. Memang para pendaki harus banyak membawa air dari bawah, tetapi sesampainya di pos v atau tepatnya di pos Samhyang rangkah akan terdapat sungai kecil yang letaknya tepat berada di bawah pos v.

Ds. Bambangan -> Serang -> Gunung Malang-> Pondok Gembirung -> Pondok Walang -> Pondok Cemara -> Samarantu -> Samyang Rangkah -> Samyang Ketebonan -> Batur -> Samyang Jampang -> Samyang Kendit -> Pelawangan -> Puncak

Selain rute bambangan,ada pula rute pendakian melewati Dukuhliwung. Dari pos 1 sampai pos 5 yaitu puncak, membutuhkan waktu sekitar 8jam. Dan ada mata air di pos 2 dan 3.

Atau bisa juga melakukan pendakian melalui obyek wisata permandian air panas Guci, rute pendakian melalui guci masih sangat terjal. namun pemandangan di sepanjang rute ini lebih istimewa dibandingkan dengan rute mana pun. Pemandangan alam di rute guci masih sangat alami dan masih sangat liar, berkesan jauh dari peradaban manusia. kedua rute ini dapat ditempuh melewati kota Tegal lalu ke selatan menuju kota Slawi, melewati Lebaksiu, Yomani dan mulai memasuki dataran tinggi Tuwel.

Sabtu, 20 November 2010

GUNUNG MERBABU

Gunung Merbabu adalah gunung api yang bertipe Strato (lihat Gunung Berapi) yang terletak secara geografis pada 7,5° LS dan 110,4° BT. Secara administratif gunung ini berada di wilayah Kabupaten Magelang di lereng sebelah barat dan Kabupaten Boyolali di lereng sebelah timur, Propinsi Jawa Tengah.

Gunung Merbabu dikenal melalui naskah-naskah masa pra-Islam sebagai Gunung Damalung atau Gunung Pam(a)rihan. Di lerengnya pernah terdapat pertapaan terkenal dan pernah disinggahi oleh Bujangga Manik pada abad ke-15. Menurut etimologi, "merbabu" berasal dari gabungan kata "meru" (gunung) dan "abu" (abu). Nama ini baru muncul pada catatan-catatan Belanda.
Gunung ini pernah meletus pada tahun 1560 dan 1797. Dilaporkan juga pada tahun 1570 pernah meletus, akan tetapi belum dilakukan konfirmasi dan penelitian lebih lanjut. Puncak gunung Merbabu berada pada ketinggian 3.145 meter di atas permukaan air laut.

Gunung Merbabu mempunyai kawasan Hutan Dipterokarp Bukit, Hutan Dipterokarp Atas, Hutan Montane, dan hutan Ericaceous atau hutan gunung.

Jalur Pendakian

Gunung Merbabu cukup populer sebagai ajang kegiatan pendakian. Medannya tidak terlalu berat namun potensi bahaya yang harus diperhatikan pendaki adalah udara dingin, kabut tebal, hutan yang lebat namun homogen (hutan tumbuhan runjung, yang tidak cukup mendukung sarana bertahan hidup atau survival), serta ketiadaan sumber air. Penghormatan terhadap tradisi warga setempat juga perlu menjadi pertimbangan.Kopeng Thekelan

Dari Jakarta bisa naik kereta api atau bus ke Semarang, Yogya, atau Solo. Dilanjutkan dengan bus jurusan Solo-Semarang turun di kota Salatiga, dilanjutkan dengan bus kecil ke Kopeng. Dari Yogya naik bus ke Magelang, dilanjutkan dengan bus kecil ke Kopeng. Dari kopeng terdapat banyak jalur menuju ke Puncak, namun lebih baik melewati desa tekelan karena terdapat Pos yang dapat memberikan informasi maupun berbagai bantuan yang diperlukan. Pos Tekelan dapat ditempuh melalui bumi perkemahan Umbul Songo.

Di bumi perkemahan Umbul Songo Anda dapat beristirahat menunggu malam tiba, karena pendakian akan lebih baik dilakukan malam hari tiba dipuncak menjelang matahari terbit. Andapun dapat beristirahat di Pos Thekelan yang menyediakan tempat untuk tidur, terutama bila tidak membawa tenda. Dapat juga berkemah di Pos Pending karena di tiga tempat ini kita bisa memperoleh air bersih.

Masyarakat di sekitar Merbabu mayoritas beragama Budha sehingga akan kita temui beberapa Vihara di sekitar Kopeng. Penduduk sering melakukan meditasi atau bertapa dan banyak tempat-tempat menuju puncak yang dikeramatkan. Pantangan bagi pendaki untuk tidak buang air di Watu Gubug dan sekitar Kawah. Juga pendaki tidak diperkenankan mengenakan pakaian warna merah dan hijau.

Pada tahun baru jawa 1 suro penduduk melakukan upacara tradisional di kawah Gn. Merbabu. Pada bulan Sapar penduduk Selo (lereng Selatan Merbabu) mengadakan upacara tradisional. Anak-anak wanita di desa tekelan dibiarkan berambut gimbal untuk melindungi diri dan agar memperoleh keselamatan. Perjalanan dari Pos Tekelan yang berada di tengah perkampungan penduduk, dimulai dengan melewati kebun penduduk dan hutan pinus. Dari sini kita dapat menyaksikan pemandangan yang sangat indah ke arah gunung Telomoyo dan Rawa Pening.

Di Pos Pending kita dapat menemukan mata air, juga kita akan menemukan sungai kecil (Kali Sowo). Sebelum mencapai Pos I kita akan melewati Pereng Putih kita harus berhati-hati karena sangat terjal. Kemudian kita melewati sungai kering, dari sini pemandangan sangat indah ke bawah melihat kota Salatiga terutama di malam hari.

Dari Pos I kita akan melewati hutan campuran menuju Pos II, menuju Pos III jalur mulai terbuka dan jalan mulai menanjak curam. Kita mendaki gunung Pertapan, hempasan angin yang kencang sangat terasa, apalagi berada di tempat terbuka. Kita dapat berlindung di Watu Gubug, sebuah batu berlobang yang dapat dimasuki 5 orang. Konon merupakan pintu gerbang menuju kerajaan makhluk ghaib.

Bila ada badai sebaiknya tidak melanjutkan perjalanan karena sangat berbahaya. Mendekati pos empat kita mendaki Gn. Watu tulis jalur agak curam dan banyak pasir maupun kerikil kecil sehingga licin, angin kencang membawa debu dan pasir sehingga harus siap menutup mata bila ada angin kencang. Pos IV yang berada di puncak Gn. Watu Tulis dengan ketinggian mencapai 2.896 mdpl ini, disebut juga Pos Pemancar karena di puncaknya terdapat sebuah Pemancar Radio.

Menuju Pos V jalur menurun, pos ini dikelilingi bukit dan tebing yang indah. Kita dapat turun menuju kawah Condrodimuko. Dan di sini terdapat mata air, bedakan antara air minum dan air belerang.

Perjalanan dilanjutkan dengan melewati tanjakan yang sangat terjal serta jurang di sisi kiri dan kanannya. Tanjakan ini dinamakan Jembatan Setan. Kemudian kita akan sampai di persimpangan, ke kiri menuju Puncak Syarif (Gunung Pregodalem) dan ke kanan menuju puncak Kenteng Songo ( Gunung Kenteng Songo) yang memanjang.

Dari puncak Kenteng songo kita dapat memandang Gn.Merapi dengan puncaknya yang mengepulkan asap setiap saat, nampak dekat sekali. Ke arah barat tampak Gn.Sumbing dan Sundoro yang kelihatan sangat jelas dan indah, seolah-olah menantang untuk di daki. Lebih dekat lagi tampak Gn.Telomoyo dan Gn.Ungaran. Dari kejauhan ke arah timur tampak Gn.Lawu dengan puncaknya yang memanjang.

Menuju Puncak Kenteng Songo ini jalurnya sangat berbahaya, selain sempit hanya berkisar 1 meter lebarnya dengan sisi kiri kanan jurang bebatuan tanpa pohon, juga angin sangat kencang siap mendorong kita setiap saat. Di puncak ini terdapat batu kenteng / lumpang / berlubang dengan jumlah 9 menurut penglihatan paranormal.

Menuruni gunung Merbabu lewat jalur menuju Selo menjadi pilihan yang menarik. Kita akan melewati padang rumput dan hutan edelweis, juga bukit-bukit berbunga yang sangat indah dan menyenangkan seperti di film India yang sangat menghibur kita sehingga lupa akan segala kelelahan, kedinginan dan rasa lapar. Disepanjang jalan kita dapat menyaksikan Gn.Merapi yang kelihatan sangat dekat dengan puncak yang selalu mengeluarkan Asap.

Kita akan menuruni dan mendaki beberapa gunung kecil yang dilapisi rumput hijau tanpa pepohonan untuk berlindung dari hempasan angin. Disepanjang jalur tidak terdapat mata air dan pos peristirahatan. Kabut dan badai sering muncul dengan tiba-tiba, sehingga sangat berbahaya untuk mendirikan tenda.

Jalur menuju Selo ini sangat banyak dan tidak ada rambu penunjuk jalan, sehingga sangat membingungkan pendaki. Banyak jalur yang sering dilalui penduduk untuk mencari rumput dipuncak gunung, sehingga pendaki akan sampai diperkampungan penduduk. Sambutan yang sangat ramah dan meriah diberikan oleh penduduk Selo bagi setiap pendaki yang baru saja turun Gn.Merbabu. Apabila Anda tidak bisa berbahasa jawa ucapkan saja terima kasih.

Dari Selo dapat dilanjutkan dengan bus kecil jurusan Boyolali-Magelang, bila ingin ke yogya ambil jurusan Magelang, dan bila hendak ke Semarang atau Solo ambil jurusan Boyolali.

Jalur Wekas

Tim Skrekanek yang berjumlah lima orang ( Steve, Sigit, Bowo, Hari, Bayu) pertengahan Maret 2005 melakukan pendakian Gunung Merbabu melalui Jalur Wekas. Untuk menuju ke Desa Wekas kita harus naik mobil Jurusan Kopeng - Magelang turun di Kaponan, yakni sekitar 9 Km dari Kopeng, tepatnya di depan gapura Desa Wekas. Dari Kaponan pendaki berjalan kaki melewati jalanan berbatu sejauh sekitar 3 Km menuju pos Pendakian.

Jalur ini sangat populer dikalangan para Remaja dan Pecinta Alam kota Magelang, karena lebih dekat dan banyak terdapat sumber air, sehingga banyak remaja yang suka berkemah di Pos II terutama di hari libur. Wekas merupakan desa terakhir menuju puncak yang memakan waktu kira-kira 6-7 jam. Jalur wekas merupakan jalur pendek sehingga jarang terdapat lintasan yang datar membentang. Lintasan pos I cukup lebar dengan bebatuan yang mendasarinya. Sepanjang perjalanan akan menemui ladang penduduk khas dataran tinggi yang ditanami Bawang, Kubis, Wortel, dan Tembakau, juga dapat ditemui ternak kelinci yang kotorannya digunakan sebagai pupuk. Rute menuju pos I cukup menanjak dengan waktu tempuh 2 jam.

Pos I merupakan sebuah dataran dengan sebuah balai sebagai tempat peristirahatan. Di sekitar area ini masih banyak terdapat warung dan rumah penduduk. Selepas pos I, perjalanan masih melewati ladang penduduk, kemudian masuk hutan pinus. Waktu tempuh menuju pos II adalah 2 jam, dengan jalur yang terus menanjak curam.

Pos II merupakan sebuah tempat yang terbuka dan datar, yang biasa didirikan hingga beberapa puluhan tenda. Pada hari Sabtu, Minggu dan hari libur Pos II ini banyak digunakan oleh para remaja untuk berkemah. Sehingga pada hari-hari tersebut banyak penduduk yang berdagang makanan. Pada area ini terdapat sumber air yang di salurkan melalui pipa-pipa besar yang ditampung pada sebuah bak.

Dari Pos II terdapat jalur buntu yang menuju ke sebuah sungai yang dijadikan sumber air bagi masyarakat sekitar Wekas hingga desa-desa di sekitarnya. Jalur ini mengikuti aliran pipa air menyusuri tepian jurang yang mengarah ke aliran sungai di bawah kawah. Terdapat dua buah aliran sungai yang sangat curam yang membentuk air terjun yang bertingkat-tingkat, sehingga menjadi suatu pemandangan yang sangat luar biasa dengan latar belakang kumpulan puncak - puncak Gn. Merbabu.

Selepas pos II jalur mulai terbuka hingga bertemu dengan persimpangan jalur Kopeng yang berada di atas pos V (Watu Tulis), jalur Kopeng. Dari persimpangan ini menuju pos Helipad hanya memerlukan waktu tempuh 15 menit. Perjalanan dilanjutkan dengan melewati tanjakan yang sangat terjal serta jurang di sisi kiri dan kanannya. Tanjakan ini dinamakan Jembatan Setan. Kemudian kita akan sampai di persimpangan, ke kiri menuju Puncak Syarif (Gunung Pregodalem) dan ke kanan menuju puncak Kenteng Songo ( Gunung Kenteng Songo) yang memanjang.

Jalur Kopeng Cunthel

Tim Skrekanek yang berjumlah lima orang (Maulana, Steve, Iwi, Ardy, Sigit) pertengahan September 2004 melakukan pendakian Gunung Merbabu berangkat melalui jalur Kopeng - Cunthel, dan turun mengambil jalur Kopeng Thekelan.

Untuk menuju ke desa Cuntel dapat ditempuh dari kota Salatiga menggunakan mini bus jurusan Salatiga Magelang turun di areal wisata Kopeng, tepatnya di Bumi perkemahan Umbul Songo. Perjalanan dimulai dengan berjalan kaki menyusuri Jalan setapak berbatu yang agak lebar sejauh 2,5 km, di sebelah kiri adalah Bumi Perkemahan Umbul Songo. Setelah melewati Umbul Songo berbelok ke arah kiri, di sebelah kiri adalah hutan pinus setelah berjalan kira-kira 500 meter di sebelah kiri ada jalan setapak ke arah hutan pinus, jalur ini menuju ke desa Thekelan.

Untuk menuju ke Desa Cuntel berjalan terus mengikuti jalan berbatu hingga ujung. Banyak tanda penunjuk arah baik di sekitar desa maupun di jalur pendakian. Di Basecamp Desa Cuntel yang berada di tengah perkampungan ini, pendaki dapat beristirahat dan mengisi persediaan air. Pendaki juga dapat membeli berbagai barang-barang kenangan berupa stiker maupun kaos.

Setelah meninggalkan perkampungan, perjalanan dilanjutkan dengan melintasi perkebunan penduduk. Jalur sudah mulai menanjak mendaki perbukitan yang banyak ditumbuhi pohon pinus. Jalan setapak berupa tanah kering yang berdebu terutama di musim kemarau, sehingga mengganggu mata dan pernafasan. Untuk itu sebaiknya pendaki menggunakan masker pelindung dan kacamata.

Setelah berjalan sekitar 30 menit dengan menyusuri bukit yang berliku-liku pendaki akan sampai di pos Bayangan I. Di tempat ini pendaki dapat berteduh dari sengatan matahari maupun air hujan. Dengan melintasi jalur yang masih serupa yakni menyusuri jalan berdebu yang diselingi dengan pohon-pohon pinus, sekitar 30 menit akan sampai di Pos Bayangan II. Di pos ini juga terdapat banguanan beratap untuk beristirahat.

Dari Pos I hingga pos Pemancar jalur mulai terbuka, di kiri kanan jalur banyak ditumbuhi alang-alang. Sementara itu beberapa pohon pinus masih tumbuh dalam jarak yang berjauhan.

Pos Pemancar atau sering juga di sebut gunung Watu Tulis berada di ketinggian 2.896 mdpl. Di puncaknya terdapat stasiun pemancar relay. Di Pos ini banyak terdapat batu-batu besar sehingga dapat digunakan untuk berlindung dari angin kencang. Namun angin kencang kadang datang dari bawah membawa debu-debu yang beterbangan. Pendakian di siang hari akan terasa sangat panas. Dari lokasi ini pemandangan ke arah bawah sangat indah, tampak di kejauhan Gn.Sumbing dan Gn.Sundoro, tampak Gn.Ungaran di belakang Gn. Telomoyo.

Jalur selanjutnya berupa turunan menuju Pos Helipad, suasana dan pemandangan di sekitar Pos Helipad ini sungguh sangat luar biasa. Di sebelah kanan terbentang Gn. Kukusan yang di puncaknya berwarna putih seperti muntahan belerang yang telah mengering. Di depan mata terbentang kawah yang berwarna keputihan. Di sebelah kanan di dekat kawah terdapat sebuah mata air, pendaki harus dapat membedakan antara air minum dan air belerang.

Perjalanan dilanjutkan dengan melewati tanjakan yang sangat terjal serta jurang di sisi kiri dan kanannya. Tanjakan ini dinamakan Jembatan Setan. Kemudian kita akan sampai di persimpangan, ke kiri menuju Puncak Syarif (Gunung Pregodalem) dan ke kanan menuju puncak Kenteng Songo ( Gunung Kenteng Songo) yang memanjang.

Dari puncak Kenteng songo kita dapat memandang Gn.Merapi dengan puncaknya yang mengepulkan asap setiap saat, nampak dekat sekali. Ke arah barat tampak Gn.Sumbing dan Sundoro yang kelihatan sangat jelas dan indah, seolah-olah menantang untuk di daki. Lebih dekat lagi tampak Gn.Telomoyo dan Gn.Ungaran. Dari kejauhan ke arah timur tampak Gn.Lawu dengan puncaknya yang memanjang.

Gunung Lawu

GUNUNG LAWU
Gunung Lawu (3.265 m) terletak di Pulau Jawa, Indonesia, tepatnya di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Status gunung ini adalah gunung api "istirahat" dan telah lama tidak aktif, terlihat dari rapatnya vegetasi serta puncaknya yang tererosi. Di lerengnya terdapat kepundan kecil yang masih mengeluarkan uap air (fumarol) dan belerang (solfatara). Gunung Lawu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan hutan Ericaceous.

Gunung Lawu memiliki tiga puncak, Puncak Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah. Yang terakhir ini adalah puncak tertinggi.

Di lereng gunung ini terdapat sejumlah tempat yang populer sebagai tujuan wisata, terutama di daerah Tawangmangu, Cemorosewu, dan Sarangan. Agak ke bawah, di sisi barat terdapat dua komplek percandian dari masa akhir Majapahit: Candi Sukuh dan Candi Cetho. Di kaki gunung ini juga terletak komplek pemakaman kerabat Praja Mangkunagaran: Astana Girilayu dan Astana Mangadeg. Di dekat komplek ini terletak Astana Giribangun, mausoleum untuk keluarga presiden kedua Indonesia, Suharto.

JALUR PENDAKIAN
JALUR CEMORO SEWU

Jalur Cemoro Sewu ada jalan setapak berbatu yang sudah tertata rapi sampe menuju Pos 1. Awal perjalanan dari terus lewatin kebun sayur sampai Pos 1.
Sebelum sampai Pos 1 ada Sumber Air Wesanan, dipuncak gunung ada tempat-tempat mata air yang dikeramatkan oleh masyarakat. Jalur mendatar dan sedikit menanjak hingga Pos Pertama. Di Pos pertamasaungan untuk beristirahat juga ada warung makanan [enaknya naik gn. lawu bisa jajan makanan di jalur pendakian ], yang buka pada hari Kamis-Minggu dan pada musim-musim ramai pendakian dan ramai orang berjiarah.

Menuju Pos 2 jalur melewati tempat keramat Watu Jago, batu besar yang bentuknya menyerupai ayam jago.

Di Pos 2 bisa nge camp dengan nyaman karena terlindung dari hempasan angin. dan kalo lagi rame suka banyak yg jual makanan

Dari Pos 2 menuju Pos 3 Jalur batu-batuan curam dan menanjak. Di jalur ini banyak asap belerang jadi jangan berlama-lama beristirahat disini.
Menuju Pos 4 jalur menanjak, merangkak pada batu-batuan. Pos 4 cuma berupa tempat datar yang sempit di cerukan tebing batu, cuma cukup untuk mendirikan satu tenda, tempat ini lumayan terlindung dari angin.

Pos 5 atau Pos Sumur Jolotundo ada di dekat Sumur Jolotundo sumur keramat.
Dari Pos 5 kita sedikit turun, muterin salah satu puncak, untuk menuju ke Sendang Drajad. Dari Sendang Drajad bisa ke Puncak Argo Dumilah, atau jalan lagi melingkar salah satu puncak menuju Hargo Dalem. Dari Hargo Dalem bisa lewat Jalur Cemoro Kandang atau Jalur Candi Seto.

dari sini bisa keliatan samudra indonesia dan waduk gajah mungkur..

DARI CEMORO KANDANG

Jalur Cemoro Kandang jaraknya sedikit lebih jauh dibandingkan dengan jalur Cemoro Sewu, tapi jalur ini agak landai jadi bisa pake kuda yang disewa dari Tawangmangu. Kalo iseng Jalur Cemoro Kandang juga bisa pake Sepeda Gunung. Jalur ini didominasi tanah merah, kalo turun hujan atau sesudah turun hujan jalur licin banget.

Dari Cemoro Kandang menuju Pos 1 (Taman Sari Bawah) jalur agak landai, dari sini kalo cuaca bagus bisa kliatan puncak Cokro Suryo.

Menuju Pos 2 (Taman Sari Atas). Di musim pendakian dan pada hari-hari besar Jawa seperti Suro, Mulud, dll. banyak orang melakukan jiarah-jiarah di tempat kramat, di Pos 2 ini seringkali ramai dan ada yg dagang makanan.

Dari Pos 2 Menuju Pos 3 Jalur sempit melingkari puncak Cokro Suryo, ati-ati karena disini rawan longsor dan sering berkabut tebal sampe2 jalur aja susah keliatan’

Abis Pos 3 kita akan melewati salah satu tempat yang dikeramatkan masyarakat yaitu sumber air yang bernama Sendang Panguripan. bentuknya mirip sebuah sumur dengan air yang jernih dan dingin. jangan kaget kalo disini sering ditemuin sesajen karena disini diwaktu-waktu tertentu banyak yg dateng ziarah

Menuju Pos 4 Jalur meliuk-liuk menyusurin lereng terjal, ada siih jalur pintasnya tapi terjal banget dan licin kalo ujan.

Dari Pos 4 Menuju Pos 5 Jalur bervariasi agak mendatar, sedikit menurun, sedikit mendaki.

Dari Pos 5 bisa langsung menuju ke Puncak Hargodumilah, Puncak Hargo Puruso, atau Puncak Hargo Tulling. Bisa juga langsung berjiarah ke makam kuno di Hargo Dalem, atau Pasar Dieng/Pasar Setan.

Gunung Lawu ada banyak puncak, puncak tertinggi adalah Hargo Dumilah dengan ketinggian 3.265 m dpl. Di puncak ini ada tugu dengan prasasti, dulu prasastinya ditulisin huruf jawa kuno. sayang tugu ini sering di oret-oret ama orang2 yg ngaku “PECINTA ALAM

Jumat, 19 November 2010

Gunung Panderman

Gunung Panderman

Gunung PandermanDi Kota Wisata Batu tidak hanya menyediakan wisata rekreasi, tetapi ada juga jalur wisata mendaki Gunung Panderman. Gunung ini sudah amat dikenal hingga ke Negeri Belanda. Maklum nama Panderman diambilkan dari nama orang Belanda Van Der Man yang mengagumi gunung tersebut.

Untuk mendaki dengan berjalan cepat hingga ke puncak hanya butuh waktu sekitar dua jam. Bagi pemula mungkin antara tiga sampai empat jam. Meski banyak jalan menanjak tetapi jarak dari kaki gunung hingga ke puncak tidak terlalu jauh.

Jika sampai ke puncak gunung, pendaki bisa menikmati indahnya pemandangan Kota Wisata Batu dan Kota Malang secara lengkap. Jika sampai puncak malam hari, akan terlihat hamparan sinar lampu kerlap kerlip nan mempesona. Dijamin bagi yang sedang berada di puncak tak ingin segera turun.

Setiap malam minggu dan hari libur banyak sekali wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang camping di lereng-lereng gunung itu. Mereka membawa tenda-tenda kecil untuk pelindung saat tidur.

Untuk naik gunung ini dari Kota Malang bisa naik bus lalu minta diturunkan di pertigaan Desa Pesanggrahan. Lalu berjalan kira-kira dua kilometer ke arah barat, dari sana suasana pegunungan mulai terasa.

Kawasan pertama yang akan dilalui jika ingin mendaki adalah kawasan Latar Ombo. Di sini biasa digunakan untuk berkemah sejumlah pendaki. Di sini juga ada sumber air yang jernih yang bisa dipakai cuci muka, mandi kalau mau, dan area di sekitarnya, bisa digunakan untuk memasak bagi pendaki yang akan meneruskan perjalanan naik atau turun. Di pos ini suasananya semakin indah. Gemericik air gunung yang jernih mampu menenangkan hati yang gundah. Sementara, dari situ juga bisa melihat kerlap kerlip sebagian lampu di Kota Wisata Batu. Suara alamnya mampu menggeser bisikan-bisikan setan yang membuat hati gelisah.

Setelah Latar Ombo, ada pos kedua yang bisa dijadikan istirahat sejenak. Pos itu namanya Watu Gede. Di kawasan ini ada batu besar, dari sini pula bisa menikmati pemandangan di bawah dengan cukup lengkap. Meski belum sampai puncak, pos ini sangat menakjubkan.

Bagi pendaki yang ingin membawa oleh-oleh bunga Edelweis, bisa mencari di beberapa semak dan lereng. Meski saat ini semakin jarang, bagi yang beruntung masih mungkin mendapatkan bunga keabadian tersebut.
Outer Journey dari Gunung Banyak

Gunung Banyak tak hanya menjadi obyek wisata yang menarik karena keindahan alamnya. Letaknya di perbatasan wilayah Kota Wisata Batu dan Kabupaten Malang ini juga serasa bisa menjadi tempat untuk menikmati “outer journey”. Ratusan ribu titik lampu warna warni menjadi sajian utama Gunung Banyak di malam hari. Pijaran titik lampu yang berjajar membuat semacam garis tak beraturan seolah hanya tampak seperti cahaya lilin. Sebagian besar titik lampu seukuran terlur puyuh tampak seakan diam. Sebagian lagi bergerak.

Itulah pemandangan yang disajikan Gunung Banyak pada malam hari. Gunung ini terletak di Dusun Brau, Desa Gunungsari, Kecamatan Bumiaji, Kota Wisata Batu, dan berbatasan langsung dengan Desa Pandesari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Tinggi gunung kurang lebih 1.300 meter diatas permukaan laut (dpl). Keindahan pemandangan di daratan itu tak selalu tampak. Untuk menikmatinya juga terkadang harus menunggu beberapa saat. Karena, tidak jarang di tengah menikmati keindahan, tiba-tiba kabut turun menyelimuti kawasan ini. Jika sudah begini, semuanya kembali menjadi putih, dan sesekali juga gelap.

Gunung Arjuno-Welirang

GUNUNG ARJUNA (3.339m) - WELIRANG (3.156m)

Terdapat beberapa gunung di sekitar Gunung Welirang-Arjuna diantaranya:
1. Gunung Arjuna (3339 m).
2. Gunung Welirang (3156 m).
3. Gunung Kembar I (2600-2700 m)
4. Gunung Kembar II (2600-2800 m)
5. Gunung Ringgit

Gn. Arjuna- Welirang dapat didaki dan berbagai arah; arah Utara (Tretes), dan arah Timur (Lawang) dan dari arah Barat (Batu-Selecta).

JALUR TRETES
Dari Surabaya kita naik bus jurusan Malang, turun di Pandaan dan ganti kendaraan ke jurusan Tretes. Tretes merupakan tempat Wisata dan Hutan Wisata serta terdapat air terjun yang indah yaitu Air terjun Kakek Bodo.

Dan Pos PHPA Tretes kita dapat langsung rnendaki G. Welirang dan juga G. Arjuna. Setelah berjalan antara 4 - 5 jam ke arah barat daya dari Tretes kita dapat berhenti dan bermalam di pondok tempat orang mencari bijih belerang, disini kita dapat mengambil air dan memasak atau mandi, karena air cukup melimpah. Hampir setiap hani sekitar 20 -- 30 orang buruh mencari dan membawa batu belerang ke Tretes.

Besok paginya kita dapat mulai mendaki ke puncak G. Welirang atau berbelok kita langsung kearah G. Arjuna. Perjalanan dan pondok sampai ke puncak G. Welirang, akan melewati hutan Cemara yang jalannya berbatu. Setelah berjalan 3 jam kita akan sampai di puncak G. Welirang. Di bawah puncak G. Welirang ada sebuah kawah yang menyemburkan gas belerang. Perjalanan dari Tretes sampai ke puncak G. Welirang memakan waktu 7 - 8 jam.

Bila kita akan melanjutkan penjalanan menuju G. Arjuna maka setelah kita sampai di puncak G. Welirang kita berjalan turun ± 10 menit tepatnya ke arah selatan. Hutan yang dilalui adalah hutan cemara dengan melewati sebuah jurang dan pinggiran G. Kembar I dan G. Kembar II. Setelah berjalan 6 - 7 jam kita akan sampai di puncak G. Arjuna. Tetapi sebelumnya kita akan melewati tempat yang dinaniakan "Pasar Dieng", ketinggiannya hampir sama dengan puncak G. Arjuna dan terdapat batu_ yang sebagian tersusun rapi seperti pagar dan tanahnya rata agak luas. Dari sini untuk ke Puncak G. Arjuna hanya memakan waktu ± 10 menit. Untuk mencapai G. Arjuna dan G. Welirang dibutuhkan waktu 5 sampai 6 jam.

Puncak G. Arjuna anginnya sangat kencang dan suhunya antara 5-10 derajat celcius. Disini kita dapat menikmati suatu Panorama yang sangat indah terutama bila malam hari, kita dapat melihat ke bawah, kota-kota seperti Surabaya, Malang, Batu, Pasuruan. serta laut utara dengan kerlipan lampu- lampu kapal.

Puncak G. Arjuna disebut juga dengan Puncak 'Ogal-Agil' atau 'Puncak Ringgit. Setelah berkemah di puncak, besok paginya kita dapat turun ke kota Lawang atau ke arah timur dengan melewati Hutan Cernara, Hutan tropis dan perdu. setelah itu kita akan melewati Perkebunan Teh Wonosari bagian utara. Turun ke arah Lawang lebih dekat dan menyingkat waktu daripada kembali ke arah G. Welirang/Tretes. Perjalanan turin ke arah Lawang kurang lebih 6 jam.

Mendaki G. Arjuno dari kota Lawang merupakan awal pendakian yang praktis karena kota Lawang mudah sekali kita tempuh baik dan arah Surabaya maupun Malang, selain itu Puncak G. Arjuno dapat langsung kita tuju dan arah ini.

JALUR BATU (SELECTA)
Rute pendakian lainnya yaitu dari kota Batu lewat Selecta yang terletak di sebelah Barat G. Welirang. Kota Batu merupakan tempat wisata yang memiliki sumber air hangat dari kaki G. Welirang dan keadaannva tidak berbeda jauh dengan Tretes. Dari arah Kediri atau Malang untuk menuju Batu kita dapat naik bus/Colt, selanjutnya perjalanan dari Batu menuju Selecta menggunakan Colt (angkutan pedesaan). Selecta salah satu tempat wisata yang ada di kota Batu dengan ketinggian 1.200 m dari permukaan laut.

Setelah tiba di Selecta kita dapat bermalam haik di Hotel maupun Losmen. Besok paginya dengan colt, kita menuju desa Kebonsari. Di desa ini kita harus menyiapkan air secukupnya untuk perjalanan ke puncak dan kembalinya.

Kita memulai pendakian dengan melewati ladang sayur-sayuran dan jalan setapak menuju ke arah timur laut dan terus naik melewati hutan tropika, dalam perjalanan ini samar-samar akan terlihat puncak G. Arjuna.

Mendaki selama 5 - 6 jam akan mengantarkan kita pada punggungan gunung yang menghubungkan Puncak G. Welirang dan G. Arjuno, tepatnya sebelah tenggara G. Kembar I. Kita masih harus menempuh perjalanan 1 - 2 jam lagi untuk menuju puncak G. Welirang ke arah kiri atau G. Arjuno ke arah kanan selama 4 - 5 jam.

RUTE TRETES
1. Surabaya - Pandaan (jurusan ke Malang); naik bus
2. Pandaan - Tretes (Pos Pendakian)
3. Pos - Shelter I (Pet Bocor) / 30 menit
4. Shelter I - Shelter II (Kokopan 1500 m) / 3 jam
5. Shelter II - Shelter III (Pondokan 2250 m) / 4 jam
6. Pondokan - Gn. Welirang / 3 jam
7. Pondokan - Pasar Dieng (Setan) / 5 jam
8. Pasar Dieng - Puncak Gn. Arjuna / 10 menit

RUTE BATU SELECTA
1. Malang - Batu
Bus
2. Batu – Selecta; naik colt
3. Selecta – Kebonsari; naik colt
4. Kebonsari - Kebun sayuran; jalan
5. Kebun sayuran - hutan tropis
6. Hutan tropis - Punggung gunung
7. Punggung gunung - Gn.Arjuna / 4 jam
8. Punggung gunung - Gn.Welirang / 2 jam

gunung (kawah) ijen

Danau Kawah Ijen merupakan sebuah danau yang terletak di bagian puncak gunung Ijen. Karena proses letusan gunung Ijen, kawah tersebut dipenuhi oleh air sehingga terbentuklah danau kawah yang sangat indah dan menakjubkan.

Kawasan Ijen terletak di daerah Banyuwangi bagian barat, berada di antara gunung berapi yakni gunung Raung dan gunung merapi. Danau kawah ijen masuk dalam wilayah Cagar Alam Taman Wisata Ijen dengan luas 2.560 hektare, termasuk hutan wisata seluas 92 hektare. Gunung Ijen sendiri merupakan gunung api yang masih aktif. Terletak pada deretan gunung api di pulau jawa bagian timur, berada di kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso.

Danau Kawah Ijen memiliki keunikan dan pesona yang khas, yaitu airnya berwarna kehijauan yang sesekali permukaan danau tersebut tertutup oleh asap belerang yang mengepul di tepi danau. Selain itu ketinggian permukaan danau ini mencapai kurang lebih 2.384 mdpl, Bila dilihat dari jarak dekat danau ini seakan-akan mendidih, karena banyaknya gelembung-gelembung udara dari dasar danau. Hal ini dimungkinkan karena adanya kegiatan gunung berapi yang terletak di bawah danau. Gelembung-gelembung tersebut terkadang diikuti oleh adanya hembusan uap dan gas yang membahayakan, sehingga pengunjung harus berhati-hati ketika menyaksikan danau ini dari dekat.

Danau Kawah Ijen sangat indah dilihat dari bibir kawah, sesekali kita juga akan menyaksikan para penambang belerang yang menuruni kawah untuk mengambil belerang. Kaldera Ijen merupakan kaldera terbesar di pulau Jawa dengan diameter 6 km. Bentuk Danau Kawah Ijen lonjong seperti elip dengan daerah pembuangan air danau terletak sebelah barat yang merupakan hulu sungai Banyu Pahit dan Banyu Putih. Danau Kawah Ijen memiliki luas 45 hektare dengan garis tengah 950 meter dan memiliki kedalaman 176 meter.

Di dalam kaldera Ijen banyak dijumpai bukit-bukit kecil yang merupakan gunung api sekunder yang telah padam. Letusan Gunung Ijen yang tercatat dalam sejarah hanya terjadi empat kali yaitu tahun 1796, 1817, 1913, dan 1936.

Peningkatan aktifitas Gunung Ijen terjadi pula pada tahun 1918, 1921, 1923, 1927, 1929, 1933, 1941. Pada tahun 1952 terjadi letusan asap dengan tinggi lebih kurang 1000 meter dari puncak, namun tidak ada korban jiwa. Karena merupakan gunung yang masih aktif sehingga luas daerah bahaya meliputi 65.367 km2.

Ada dua rute yang digunakan untuk mencapai Danau Kawah Ijen. Rute pertama melalui Banyuwangi dan rute kedua melalui Bondowoso. Jika dari Banyuwangi, naik angkot trayek Banyuwangi - Licin - Jambu. Dari Jambu perjalanan dilanjutkan menuju Paltuding dengan ojek. Pintu gerbang utama ke Cagar Alam Taman Wisata Kawah Ijen terletak di Paltuding, yang juga merupakan Pos PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam). Fasilitas lain-lain yang dapat dinikmati oleh pengunjung antara lain pondok wisata dan warung yang menjual keperluan pendakian untuk menyaksikan keindahan kawah Ijen.

Dari Paltuding berjalan kaki dengan jarak sekitar 3 km. Lintasan awal sejauh 1,5 km cukup berat karena menanjak. Sebagian besar jalur dengan kemiringan 25-35 derajad. Perjalanan mendaki yang berat menjadi bersemangat kembali ketika melihat para penambang belerang turun gunung dengan mengangkut belerang dari Kawah seberat 80 bahkan bisa 130 kg. Selain menanjak struktur tanahnya juga berpasir sehingga menambah semakin berat langkah kaki karena harus menahan berat badan agar tidak merosot ke belakang.
Setelah beritirahat di Pos (hanya ada satu pos di sepanjang jalur) jalur selanjutnya relatif agak landai. Selain itu wisatawan/pendaki di suguhi pemandangan deretan pegunungan yang sangat indah. Di puncak asap pekat belerang mulai tercium. Untuk turun menuju ke kawah harus melintasi medan berbatu-batu sejauh 250 meter dengan kondisi yang terjal. 

Kamis, 18 November 2010

GUNUNG RAUNG

Gn. Raung merupakan bagian dari kelompok pegunungan Ijen yang terdiri dari beberapa gunung, diantaranya Gn.Suket (2.950mdpl), Gn.Raung (3.332mdpl), Gn.Pendil (2.338), Gn.Rante (2.664), Gn.Merapi (2.800), Gn.Remuk (2.092), dan Kawah Ijen.
Gunung Raung adalah sebuah gunung yang besar dan unik, yang berbeda dari ciri gunung pada umumnva di pulau Jawa ini. Keunikan dari Puncak Gunung Raung adalah kalderanya yang berbentuk elips dengan kedalaman sekitar 500 meter dalamnya, yang selalu berasap dan sering menyemburkan api dan terdapat kerucut setinggi kurang lebih 100m. Gn.Raung termasuk gunung tua dengan kaldera di puncaknya dan dikitari oleh banyak puncak kecil, menjadikan pemandangannya benar-benar menakjubkan.
Untuk mendaki G. Raung, paling mudah adalah dari arah Bondowoso. Dari Bondowoso terus menuju desa Sumber Wringin dengan menggunakan Colt melalui Sukosani. Perjalanan diawali dari desa Sumber Wringin melalui kebun pinus dan perkebunan kopi menuju Pondok Motor. Di Pondok Motor kita dapat menginap dan beristirahat, kemudian kita dapat melanjutkan perjalanan ke puncak yang membutuhkan waktu sekitar 9 jam.
Dari Pondok Motor ke G. Raung, dimulai dengan melalui kebun selama 1 jam lalu pendakian memasuki hutan dengan sudut pendakian yang tidak terlalu besar yaitu sekitar 20 derajat. Hutan gunung ini terdiri dari pohon glentongan, arcisak, takir dan lain-lain.

Setelah pendakian selama 2 jam atau sekitar 1300 - 1400 m pendaki akan menemukan jalan berkelok dan naik turun sampai ketinggian sekitar 1500 - 1600 m. Di daerah ini mulai terlihat pohon cemara lalu pendakian diteruskan menuju pondok sumur (1750 M). setelah itu pendakain akan mulai sulit dan sudut pendakian mulai membesar dan jalur pendakian kurang jelas karena hanya semak-semak dan kemudian terus mendaki selama 3 jam hingga dicapai Pondok Demit.
Kemudian pendaki harus mendaki lagi selama sekitar 8 jam hingga dicapai batas hutan, yang dikenal dengan nama Pondok Mantri atau Parasan pada ketinggian sekitar 2900 - 3000 m. di tempat inilah pendakian beristirahat untuk berkemah. Perjalanan dilanjutkan melalui padang alang-alang (sekitar 1 jam perjalanan), selanjutnya menuju puncak Gunung Raung yang sedikit berpasir dan berbatu-batu. Dari tempat berkemah menuju puncak G. Raung, hanya diperlukan waktu sekitar 2 (dua) jam saja.
Puncak G. Raung ini berada pada ketinggian 3.332 m dari permukaan laut dan sering bertiup angin kencang. Dari pinggir kawah tidak terdapat jalur yang jelas untuk menuju dasar kawah sehingga pendaki yang bermaksud menuruni kawah agar mempersiapkan tali temali ataupun peralatan lainnya untuk sebagai langkah pengamanan. Dalam perjalanan ke Puncak G. Raung, tidak ada mata air. Sebaiknya untuk air dipersiapkan di Sumber Wringin atau di Sumber Lekan. Untuk mendaki G. Raung tidak diperlukan ijin khusus, hanya saja kita perlu melaporkan diri ke aparat desa di Sumber Wringin.

Keangkeran Gunung Raung sudah terlihat dari nama-nama pos pendakian yang ada, mulai dari Pondok Sumur, Pondok Demit, Pondok Mayit dan Pondok Angin. Semua itu mempunyai sejarah tersendiri hingga dinamakan demikian. Pondok Sumur misalnya, katanya terdapat sebuah sumur yang biasa digunakan seorang pertapa sakti asal Gresik. Sumur dan pertapa itu dipercaya masih ada, hanya saja tak kasat mata. Di Pondok Sumur ini, saat berkemah,juga terdengar suara derap kaki kuda yang seakan melintas di belakang tenda.
Selanjutnya Pondok Demit, disinilah tempat aktivitas jual-beli para lelembut atau dikenal dengan Parset (Pasar Setan). Sehingga, pada hari-hari tertentu akan terdengar keramaian pasar yang sering diiringi dengan alunan musik. Lokasi pasar setan terletak disebelah timur jalur, sebuah lembah dangkal yang hanya dipenuhi ilalang setinggi perut dan pohon perdu. Pondok Mayit adalah pos yang sejarahnya paling menyeramkan, karena dulu pernah ditemukan sesosok mayat yang menggantung di sebuah pohon. Mayat itu adalah seorang bangsawan Belanda yang dibunuh oleh para pejuang saat itu.

Tak jauh dari Pondok Mayit, adalah Pondok Angin yang juga merupakan pondok terakhir atau base camp pendaki. Tempat ini menyajikan pemandangan yang memukau karena letaknya yang berada di puncak bukit, sehingga kita dapat menyaksikan pemandangan alam pegunungan yang ada disekitarnya. Gemerlapnya kota Bondowoso dan Situbondo serta sambaran kilat jika kota itu mendung, menjadi fenomena alam yang sangat luar biasa. Namun, angin bertiup sangat kencang dan seperti maraung-raung di pendengaran. Karenanya gunung ini dinamakan Raung, suara anginnya yang meraung di telinga terkadang dapat menghempaskan kita didasar jurang yang terjal