Cimahi – Waktu saat itu telah menunjukkan pukul sembilan pagi.
Kesibukan para pedagang dan pembeli di pasar Cimahi lebih ramai dari
biasanya. Mungkin karena hari itu bertepatan dengan jatuhnya hari libur
nasional. Atau mungkin juga bertepatan dengan hari terakhir dari
rangkaian libur selama tiga hari yaitu 17-19 Maret 2007. Biasanya banyak
orang yang memanfaatkan rangkaian libur panjang seperti itu untuk
melakukan berbagai kegiatan yang jauh dari keramaian kota.
Masih
dalam rangkaian aktifitas pendakian ”3 Hari Menggapai 3 Puncak Gunung
di Jawa Barat”, Kami bertiga memanfaatkan hari libur panjang pada
pertengahan bulan Maret tersebut untuk mendaki tiga puncak gunung di
Jawa Barat. Gunung-gunung tersebut yaitu Gunung Papandayan, Gunung
Guntur dan Gunung Burangrang.
Gunung Burangrang kami pilih
menjadi penutup dari tiga hari pendakian tiga puncak gunung di Jawa
Barat. Salah satu alasannya karena jalur pendakian yang kami pilih untuk
mencapai puncaknya dan kembali turun lagi membutuhkan waktu yang
relatif singkat yaitu sekitar 4-5 jam. Sebagai titik awal pendakian atau
entry point kami pilih Jalur Komando, Cimahi. Sedangkan untuk titik
akhir pendakian atau exit point kami memilih Jalur Legok Haji atau
Cisurupan, Cimahi.
Pasar Cimahi menjadi awal dari
perjalanan kami menuju Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua. Karena tidak
ada rencana untuk bermalam di Gunung Burangrang, perbekalan yang kami
siapkan sebagian besar merupakan makanan matang atau langsung dapat
disantap dan semuanya dapat diperoleh di pasar tersebut.
Tidak
sampai setengah jam perjalanan dengan menggunakan angkutan kota dari
Pasar Cimahi, akhirnya kami sampai di sebuah tempat yang bertuliskan
Komando. Walaupun wilayah tersebut merupakan bagian dari Desa Kertawangi
namun Komando menjadi nama yang hingga kini lebih dikenal oleh para
penggiat alam bebas. Nama Komando sendiri diambil karena kawasan
tersebut memang merupakan tempat latihan militer para Kopasus.
Bukan Monopoli Pendaki
Sebuah
papan petunjuk bertuliskan ”Selamat Datang di Daerah Latihan Tahap
Gunung Hutan Komando Situ Lembang” langsung menyambut kami selepas
berjalan melintasi pintu masuk kawasan.
Tepat sekitar
pukul sepuluh pagi pendakian menuju titik puncak Gunung Burangrang kami
mulai. Melewati sebuah warung yang lebih dikenal dengan warung Bandrek,
kami melintasi perkebunan sayur dan hutan pinus. Suara kicauan burung
dan kesibukan para petani sayuran menjadi harmoni keindahan yang
mengiringi awal perjalanan kami. Kemudian pemandangan hutan pinus lebih
mendominasi perjalanan kami. Jalurnya yang landai dan sedikit menanjak
merupakan awal yang baik untuk mengawali sebuah pendakian. Secara
perlahan aneka jenis tumbuhan khas hutan hujan tropis memberi keteduhan
kepada kami.
Setengah jam pertama perjalanan dari Warung
Bandrek, kami sampai di dataran yang bisa disebut sebagai pos pertama.
Sebuah pemandangan menarik sudah dapat kami nikmati dari sini. Tampak di
kejauhan Situ (danau) Lembang terlihat jernih bercahayakan sinar
mentari. Jernihnya danau tersebut dan hijaunnya hutan yang
mengelilinginya menjadikan area tersebut begitu menawan.
Berbagai
sarana penunjang dan daya tarik alam Gunung Burangrang bukan hanya
menjadi monopoli para penggiat alam bebas saja. Berbagai himpunan
kegiatan mahasiswa, kegiatan Outbound, komunitas para penggila mobil
4WD, dan motor, adalah termasuk kelompok yang memanfaatkan kawasan dasar
kaldera yang masuk jajaran hasil letusan Gunung Sunda Purba ini.
Termasuk para pengunjung yang ingin sekedar menikmati alamnya saja
sambil berkemah atau memancing,
Sulit bagi saya rasanya
untuk membayangkan seberapa besar dan tinggi Gunung Sunda Purba dahulu
sebelum meletus. Dari literatur yang pernah saya baca, Gunung Burangrang
merupakan satu bagian dari jejeran pegunungan yang berjejer dari utara
cekungan Bandung barat hingga ke timur yang terbentuk dari hasil letusan
Gunung Sunda Purba di masa lampau yang kini menjadi Kaldera Sunda.
Bagian lain dari Kaldera Sunda tersebut diantaranya Gunung Tangkuban
Perahu, Gunung Bukit Tunggul dan lembah-lembah di utara sesar Lembang.
Yang sempat terlintas di pikiran saya, Gunung Sunda Purba tersebut juga
merupakan gunung api raksasa.
Tantangan Menuju Puncak
Selepas
camp pertama, jalur yang kami tempuh perlahan mulai menanjak. Jalan
setapak di punggungan gunung yang kami tempuh semakin lama semakin
terjal. Beberapa batuan yang menempel kuat di tanah dan batang serta
ranting pohon merupakan benda-benda yang dapat membantu kami untuk naik
ke atas. Jalur menanjak dan terjal diselingi beberapa jalur yang landai
menjadi bagian dari perjalanan menuju puncak Gunung Burangrang.
Kira-kira
20 menit perjalanan selepas camp pertama, kami beritirahat sejenak di
tanah datar yang tidak terlalu luas. Namun pemandangan yang disuguhkan
sungguh menawan kami. Nampak di sisi kanan hamparan lembah yang
menghijau oleh rimbunnya hutan. Keindahan tersebut semakin lengkap
dengan adanya sebuah danau – Situ Lembang – yang terletak di
tengah-tengah lembah.
Trek pendakian menuju puncak
bayangan yang lebih terbuka membuat kami dapat dengan leluasa menikmati
suasana sekelilingya. Bahkan ketika kami melewati jalur yang di sisi
kanannya berupa tebing berbatu cadas, hamparan lembah yang menghijau
dengan Situ Lembangnya yang berada jauh di bawahnya benar-benar
menyuguhkan pemandangan yang menawan. Sedangkan di sisi lainnya hamparan
sawah, perkebunan penduduk serta area di sekitarnya yang nampak
terlihat jelas.
Sampai akhirya kami menemukan sebuah
plakat semacam batu nisan untuk mengenang seorang teman dan sahabat
penggiat alam bebas yang telah meninggal di kawasan ini. Plakat tersebut
juga merupakan tanda bahwa kami telah sampai di puncak bayangan. Dari
puncak bayangan ini kami dapat melihat sekelilingnya dengan jelas
seperti lembah, Situ Lembang dan jejerang pegunungan lainnya.
Tidak
sampai lima menit, dengan jalur sedikit landai kemudian menanjak, kami
menginjakkan kaki di puncak gunung ini. Sebuah trianggulasi (bangunan
penunjuk ketinggian daratan) berukuran tinggi 1,5 meter menjadi tanda
tuntasnya kami menggapai puncak Gunung Burangrang. Waktu yang masih
menunjukkan pukul satu siang dan cuaca yang cerah membuat pemandangan
dari puncak gunung yang mempunyai ketinggian 2.048 mdpl ini sangat
indah. Nampak jajaran bukit dan pegunungan yang menjadi bagian dari
jajaran hasil letusan Gunung Sunda Purba. Keelokan sebuah gunung yang
telah menjadi bagian dari legenda Sangkuriang, Gunung Tangkuban Perahu
tidak jauh dari gunung Burangrang, turut membawa kami ke dalam khayalan
cerita legenda tersebut. Hamparan kebun, sawah, desa, serta kota-kota
disekitar Cisarua, Situ Lembang dan lembah yang menghijau menyatu
menjadi sebuah lukisan alam yang sempurna.
Ditengah pesona
keindahan alam tersebut kami menyantap perbekalan makanan yang telah
kami bawa. Ini merupakan makan siang yang sangat nikmat kami rasakan.
Dan tidak terasa hampir satu jam kami berada di puncak. Waktunya bagi
kami untuk segera turun meninggalkan puncak Gunung Burangrang.
Untuk
turun dari puncak Gunung Burangrang kami memilih jalur yang berbeda
dengan jalur naik. Desa Legok Haji atau Desa Cisurupan, Kecamatan
Cisarua, menjadi jalur pilihan kami untuk turun. Dari puncak Gunung
Burangrang, kami langsung memilih jalur yang berlawanan ketika tiba.
Jalur
yang menuju Desa Cisurupan akhirnya menjadi pilihan kami. Setelah
menapaki jalan setapak diantara tanaman jenis semak dan ilalang kami
memasuki kawasan yang sedikit ditumbuhi hutan Pinus. Perkebunan sayur
dan perkampungan penduduk di Desa Cisurupan sudah nampak jelas di
hadapan kami. Lima belas menit kemudian kami pun memasuki desa yang asri
tersebut. Sebuah desa di kaki Gunung Burangrang yang menjadi penghasil
aneka jenis bunga dan sayuran, akhirnya menjadi penutup perjalanan 3
hari kami untuk menggapai 3 puncak gunung di Jawa Barat. Bentangan
alamnya yang memukau dan keindahan yang menggoda serta waktu yang
relatif singkat untuk mencapai puncaknya (±3 jam), menjadikan Gunung
Burangrang hingga kini tetap layak untuk dijelajahi. Akankah anda
menunggu lagi?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar